Tragedi Trisakti
Setelah Soekarno diturunkan dan dicabut kepresidenannya pada tanggal 12
Maret 1967, Soeharto mengambil alih posisi presiden Indonesia. Pada masa
pemerintahannya, Soeharto amat sangat mengekang kebebasan berpendapat
hingga melarang adanya bentuk protes apapun yang dilakukan oleh
mahasiswa. Pada tahun 27 Juli 1996, pihak bersenjata menyerang markas
PDI di Jakarta Pusat. Pada masa itu, Megawati Sukarno putri yang
diangkat menjadi ketua partai dinilai berbahaya oleh pemerintahan Orde
Baru. Pada 29 Mei 1997, pemilu dilakukan dan dimenangkan oleh Golkar
dengan 74% suara. Pemilu ini dinilai telah dicurangi dan menyebabkan
kemarahan publik. Hal ini berujung pada salah satu catatan kelam negara
kita, tragedi Trisakti, 12 Mei 1998.
Sejarah Tragedi Trisakti 12 Mei 1998
12 Mei 1998 merupakan salah satu dari beberapa rangkaian kerusuhan yang
terjadi di Indonesia mengikuti dilantiknya Soeharto setelah tujuh tahun
berturut-turut pada bulan Maret di tahun yang sama. Yang membuat rakyat
marah kemungkinan adalah karena Soeharto berseru tentang reformasi
politik dan ekonomi, tapi pada kenyataannya Kabinet Pembangunan VII –
kabinet buatan Soeharto pada saat itu berisi anggota keluarga dan
kroni-kroni Soeharto, termasuk anak didiknya, Bacharuddin Jusuf Habibie
sebagai wakil presidennya.
Sebelum terjadi kerusuhan di Jakarta, Medan telah terlebih dahulu
menyalakan api kebencian akan pemerintahan Soeharto. Pada awal Mei
dimulai, para pelajar sudah mulai menjalankan aksi demonstrasi di
kampus-kampus sekitaran Medan selama dua bulan. Jumlah pelajar yang
mengikuti aksi demonstrasi ini terus bertambah seiring makin lantangnya
panggilan dari masyarakat untuk reformasi total. Hal yang membuat
mahasiswa semakin berang adalah tewasnya salah satu mahasiswa pada 27
April yang kesalahannya dilemparkan pada pihak berwajib yang melemparkan
gas air mata ke kampus dan mencapai puncak pada tanggal 4 hingga 8 Mei
saat pemerintah memutuskan menaikkan harga minyak sebesar 70% dan 300%
untuk biaya listrik.
Pada tanggal 9 Mei, presiden Soeharto terbang menuju group of 15
summit di Kairo, Mesir. Sebelum berangkat, Soeharto berkata pada
masyarakat untuk menghentikan protes mereka dan seperti yang dituliskan
di Suara Pembaruan, bahwa ia menyatakan kalau hal ini terus berlanjut,
tidak akan ada kemajuan di Indonesia. Soeharto yang awalnya dijadwalkan
untuk kembali ke Jakarta pada 14 Mei, pulang lebih cepat saat kerusuhan
di Jakarta mencapai titik kritis, sebuah kejadian yang akan mencatat sejarah kelam tragedi Trisakti 12 Mei 1998 di Indonesia.
Kericuhan di Jakarta mencapai puncaknya pada tanggal 12 Mei ketika
pihak kepolisian dan tentara mulai menembaki mahasiswa-mahasiswa yang
melakukan aksi protes damai. Tragedi ini menewaskan 4 orang, Elang Mulia
Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Belasan
orang juka terluka sebagai hasil dari tragedi ini. Penembakan protestan
tanpa senjata ini menyebabkan kerusuhan yang sebelumnya sudah terjadi
menjadi tambah marak di seluruh Indonesia, dan pada akhirnya
melengserkan Soeharto dari kursi kepemimpinannya.
Kronologi Tragedi Trisakti
Protes yang menjadi kejadian kunci
sejarah kelam tragedi Trisakti 12 Mei 1998
dimulai pada pukul 10 siang dan diikuti lebih dari 6000 mahasiswa,
staff, dan dosen yang berkumpul di lapangan parkir universitas Trisakti.
Hal pertama yang mereka lakukan adalah menurunkan bendera indonesia menjadi setengah tiang yang menyimbolkan duka atau kesengsaraan. Baru
ketika hari mulai siang, para protestan ini bersiap-siap untuk melakukan
long march menuju gedung DPR/MPR. Belum jauh dari kampus, mereka
dihentikan oleh oleh pihak kepolisian, tepatnya di depan kantor walikota
Jakarta Barat. Sebagai respon dari penghentian mereka, para protestan
ini kemudian menduduki jalan S. Parman dan menghalangi jalur lalu
lintas. Setelah bantuan dari pihak militer datang untuk membantu
kepolisian, dekan fakultas hukum, Adi Andojo, berhasil membujuk para
demonstran kembali ke kampus. Pada saat itu, pasukan pengamanan yang ada
di lokasi adalah Polisi Brimob, KOSTRAD, dan Kodam Jaya. Mereka
dipersenjatai dengan perisai huru-hara, gas air mata, Steyr AUG, dan
Pindad SS-1.
Ketika waktu menunjukkan pukul 5 sore, hampir seluruh demonstran
telah kembali ke area kampus Trisakti. Sesaat setelah kembali inilah,
cemoohan terdengar dari kumpulan polisi dan tentara, diikuti dengan
rentetan tembakan yang menyebabkan para demonstran panik dan tercerai
berai. Kekacauan ini memakan dua korban jiwa, yaitu Elang Mulya Lesmana
dan Hendriawan Sie yang saat itu sedang berusaha masuk ke ruangan
rektorat di gedung Dr. Syarif Thayeb. Korban jiwa kembali jatuh ketika
para mahasiswa yang belum mengungsi berkumpul di sebuah ruangan terbuka.
Tentara-tentara yang diposisikan di atap gedung terdekat terus
menembak, melukai banyak mahasiswa dan mengambil nyawa dari Heri
Hartanto dan Hafidin Royan. Penembakan baru berhenti pada pukul 8 malam,
dan pihak kampus bergegas membawa mereka yang terluka menuju rumah
sakit terdekat.
Sejarah tragedi Trisakti 12 Mei 1998 ini seperti disebutkan di atas
memakan 4 korban jiwa yang semuanya merupakan mahasiswa dari universitas
Trisakti. Keempat mahasiswa ini kemudian oleh Bacharuddin Jusuf Habibi
yang naik menggantikan Soeharto sebagai presiden diberi julukan sebagai
pahlawan reformasi, karena tewasnya mereka secara tidak langsung
mengobarkan api reformasi di hati masyarakat-masyarakat Indonesia yang
lainnya. Meski begitu, sebelum presiden Soeharto turun, sempat ada
kerusuhan yang jauh lebih besar di Jakarta yang menewaskan 1200 orang
tewas yang kebanyakan dikarenakan oleh terjebaknya orang-orang itu di
dalam gedung yang dibakar. Pada saat itu, penjarahan terjadi
dimana-mana, dan warga Indonesia keturunan Tiongkok menjadi korban
penganiayaan dan berbagai tindakan lainnya oleh masyarakat yang menjadi
buas.
Nah, demikian penjelasan singkat mengenai
Sejarah Kelam Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998
yang sampai sekarang belum tuntas penyelasaian kasusnya. Sudah 16 tahun
peristiwa ini berlalu, tentu ini menjadi kisah pilu tersendiri bagi
kita bangsa Indonesia. Semoga peristiwa ini segera di usut tuntas sampai
ke akar-akarnya. Jangan sampai terulang lagi pelanggaran terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM), dimana segala cara dihalalkan untuk mencapai suatu
tujuan kelompok tertentu.